A Romantic Story About Serena (2 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
13.57Mb size Format: txt, pdf, ePub

Mungkin ini kegilaan sesaat, atau mungkin alamiah. Damian pernah membaca
bahwa ada orang-orang tertentu yang memang dapat membuatmu sangat bergairah,
entah karena hormon, aroma atau yang lainnya, mungkin Serena salah satu
diantaranya.

Ini hanyalah masalah nafsu, dan akan segera hilang begitu nafsu ini
dipuaskan, gumam Damian dalam hati, berusaha menenangkan dirinya.

Dengan dahi berkerut dipandanginya laporan pinjaman karyawan dimejanya.

Yah sepertinya ini akan sangat mudah, melihat besarnya pinjaman Serena,
kelihatannya gadis ini sangat konsumtif dan menyukai uang, dengan sedikit
pengeluaran ekstra pasti akan sangat mudah menarik gadis itu ke ranjangnya, dan
setelah dia terpuaskan, pasti akan lega sekali bisa terlepas dari obsesi yang
menyiksa ini.

******

"Bagaimana kondisinya suster?",

Serena baru saja sampai, di luar hujan deras sekali, dan air
menetes-netes dari rambutnya.

Perawat itu memandangnya dengan penuh kasih, sudah 2 tahun dia mengenal
Serena. Dari Serena masih gadis polos yang kebingungan, sampai akhirnya dia
berubah menjadi gadis tegar yang penuh semangat dan mengambil alih semua
tanggung jawab yang mungkin terlalu berat untuknya,

Kasihan sekali kau nak
, gumamnya dalam hati,

"Kondisinya baik Serena, tekanan darahnya normal dan detak
jantungnya stabil, itu bagus, dia begitu tenang seharian ini, dia tidak
mengalami serangan, jadi tidak perlu merasakan kesakitan"

"Dia tidak mengalami serangan?", mata Serena melebar bahagia,
"terimakasih suster Ana ,kalau begitu aku akan melihatnya dulu",

Serena memasuki ruangan putih sederhana itu, dipandangnya ranjang yang
menjadi pusat ruangan itu. Di atas ranjang, terbaring sosok yang lemah,
tubuhnya terhubung dengan selang yang terjalin ke mesin-mesin,

Serena duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan yang terhubung
dengan jarum infus, sebuah cincin emas melingkar di jari lelaki itu, ya, cincin
yang sama yang melingkar di jarinya, lelaki ini adalah Rafi, tunangannya yang terbaring
koma sejak lebih dua tahun yang lalu,

"
A
pa kabarmu sayang?",
gumamnya penuh perasaan.

Sosok itu tetap diam dan ruangan terasa hening, hanya suara mesin mesin
pemonitor detak jantung dan desisan alat pengatur oksigen yang terdengar,

Serena mengecup cincin di jari lelaki itu, ingatannya menerawang kembali
ke masa dua tahun lalu dimana hidupnya yang indah dan bahagia berubah menjadi
tragedi,

Saat itu persiapan pernikahan mereka, Rafi sudah cukup mapan dan sangat
mencintai Serena, dan Rafi tidak mempunyai keluarga, lelaki itu dibesarkan di
panti asuhan lalu berjuang mandiri sehingga bisa menjadi pengacara handal yang
cukup sukses,

"Aku sebatang kara di dunia ini sebelum bertemu denganmu",
begitu ucapan syukur Rafi dulu ketika Serena menerima lamarannya. Serena begitu
bahagia waktu itu, dia begitu dicintai dan kedua orang tuanya begitu
mendukungnya, sebagai anak tunggal orang tuanya memang sedikit lebih protektif
padanya dibandingkan orang tua lainnya, tapi mereka bisa melihat ketulusan hati
Rafi dan menerima Rafi dengan tangan terbuka,

Lalu pagi yang penuh tragedi itu terjadilah, Serena sedang melakukan
pengepasan gaun pengantin, pernikahan mereka tinggal sebulan lagi. Ketika itu
Rafi menelpon, karena Serena meminta tolong padanya untuk menjemput orangtua
Serena di bandara, orang tua Serena baru pulang dari tugas dinas ayah Serena di
Samarinda.

Sebenarnya merupakan tugas Serena menjemput mereka, tetapi karena supir
keluarga sedang cuti dan waktunya bersamaan dengan jadwal
 
fitting
 
baju pengantin, Serena meminta bantuan
Rafi . Rafi tidak pernah merasakan punya orang tua, jadi dia sangat menyayangi
kedua orang tua Serena, begitu pula sebaliknya, jadi, tugas sepele seperti
menjemput orangtua di bandara terasa sangat menyenangkan baginya,

"Kami akan menuju ke tempat
 
fitting
 
baju segera setelah sampai,lalu kita
bisa makan siang bersama-sama, tapi ups! Kamu kan tidak boleh makan
banyak-banyak, nanti baju pengantin itu tak akan cukup sebulan lagi"'
candanya dengan riang

Serena sempat merajuk tapi kemudian Rafi bisa membuatnya tertawa lagi,

"Kau tahu,aku tidak sabar bertemu dengan orangtuamu,
.......
aku
merindukan mereka
"

Lelaki itu tertawa lalu menutup telepon setelah mengucapkan satu-satunya
janji yang tidak bisa ditepatinya,

 "Aku janji,segera setelah kami dekat tempatmu, aku akan
menelponmu, jadi kau bisa siap-siap di depan,
Bye
calon pengantinku
, i love
u
",

Itulah saat terakhir Rafi menelponnya.

Sama sekali tidak ada firasat hari itu, sama sekali tidak ada pertanda
bahwa pagi itu akan menjadi mimpi paling buruk dalam hidupnya, Dan telepon
itulah awal dari rentetan bencana
.

Y
ang
menelponnya kemudian bukanlah Rafi yang dicintainya, melainkan petugas rumah
sakit. Mobil yang dikendarai Rafi menjadi salah satu korban tabrakan beruntun
di jalan tol, Ayahnya meninggal di tempat, Ibunya dalam kondisi kritis dan Rafi
sudah tak sadarkan diri karena benturan keras di kepalanya.

Serena menjalani semuanya seorang diri, hari itu dia bergerak bagai
robot mengurusi pemakaman ayahnya sekaligus mengkhawatirkan kondisi ibu dan
tunangannya, tak ada waktu untuk menangis, dan kemudian keesokan harinya ibunya
meninggal menyusul ayahnya, Serena harus menanggung kepedihan memakamkan kedua
orang tuanya dalam dua hari berturut-turut seorang diri, lalu malam itu, ketika
dokter memutuskan bahwa Rafi mengalami koma serta tidak diketahui kapan akan
sadar, ketegaran Serena runtuhlah sudah, semua kepedihan bertubi-tubi yang
menerjangnya sudah tidak dapat ditanggungnya lagi, dia pingsan dan ketika sadar
dia hanya bisa  menangis,

Lalu Suster Ana datang, seorang perawat setengah baya yang sangat
keibuan. Suster itulah yang membantu Serena agar tidak terpuruk, yang membuat
Serena sadar bahwa dialah satu-satunya yang dimiliki Rafi untuk membantunya
bertahan hidup.

Dengan cepat Serena bangkit, menyadari bahawa dia sendiri yang harus
berjuang demi Rafi, lelaki yang sangat dia cintai. Dan mengetahui bahwa biaya
perawatan Rafi tidak murah, Serena segera bergerak cepat, dijualnya rumah
keluarganya, dan dikumpulkannya semua aset yang dimilikinya lalu pindah ke tempat
kost yang mungil memahami bahwa efisiensi sangatlah penting, lalu dia pindah
pekerjaan dengan gaji lebih bagus,

"Berjuanglah untuk bertahan Rafi, karena aku akan berjuang
untukmu", teka
d
 
Serena dalam hati waktu itu.

Namun sekarang hampir dua tahun lebih berlalu, seluruh aset yang
dimiliki Serena sudah habis, bahkan dia harus menanggung hutang ke perusahaan
untuk menutup biaya perawatan Rafi, dan tunangannya tercinta itu masih belum
sadar juga,

"Kau tahu tadi pagi aku bertengkar dengan bosku", Serena memulai
kebiasaannya, mengobrol satu arah dengan Rafi, menceritakan kisah kehidupannya
sehari-hari pada Rafi, "Matanya biru dan dia sangat menyebalkan, dan kau
tahu? Dia sama sekali tak menghargai moralitas, kau pasti akan bertengkar hebat
dengannya karena sebagai pengacara kau sangat menjunjung tinggi
moralitas",

Serena terkekeh membayangkan hal itu, lalu direbahkannya kepalanya di
ranjang sambil mengamati wajah Rafi," aku merindukanmu tahu, sudah lama
aku tidak mendengar suaramu, sampai kapan kau mau tidur terus? Awas ya, jangan
salahkan aku kalau suatu saat kau memanggilku ditempat ramai dan aku tidak
mengenali suaramu",

Diluar pintu, suster Ana yang mendengar percakapan itu menutup mulutnya
dengan tangan, matanya berkaca-kaca. Betapa tegarnya gadis itu, betapa hebatnya
dia, selama dua tahun dia berjuang dan belum mendapat jawaban, tapi semangatnya
sama sekali tidak pernah surut.

Selama hampir dua jam Serena bercakap-cakap searah dengan Rafi, lalu
ketika Suster Ana mengingatkan bahwa waktu sudah menunjukkan jam 9 malam,
Serena bangkit dari duduknya, dikecupnya dahi Rafi penuh kasih sayang,

"Sudah dulu ya, aku akan pulang dan tidur, besok aku akan kesini
dan menengokmu lagi, aku mencintaimu Rafi",

Serena lalu menemui suster Ana yang masih menunggu di luar, suster itu
menyerahkan kantong plastik pada Serena,

"Ini mie goreng kesukaanmu, kau tadi buru-buru kesini karena hujan,
pasti kau tak sempat makan malam"

"Terimakasih suster", Serena memeluk wanita gemuk setengah
baya yang selama dua tahun ini telah menjadi sandaran hatinya.

"Wajahmu terlihat pucat nak, kau pasti kecapekan, jangan terlalu
memaksakan diri",

Serena menarik napas letih tapi tetap mencoba tersenyum riang,

"Aku harus terus bekerja suster, apalagi sudah hampir tanggal
lima",

Tanggal lima adalah tanggal rutin Serena harus melunasi biaya perawatan
Rafi yang makin membengkak setiap bulannya,

Suster Ana memandang Serena dengan hati-hati,

"Kau tahu nak, ada beberapa cara yang lebih ringan, dokter
memperbolehkan Rafi dirawat dirumah...",

"Tidak!", Serena memandang suster Ana dengan ngeri, "Rafi
kan sering mengalami serangan, aku tidak mau Rafi kenapa-kenapa, disini adalah
tempat Rafi akan mengalami penanganan yang paling tepat, dan aku akan berjuang
berapapun biayanya"

Suster Ana memandang Serena dengan penuh kasih sayang, menyadari betapa
bisa keras kepalanya gadis itu jika dia sudah punya kemauan,

"Ya sudah, pulang dan istirahatlah, jangan lupa dimakan mienya, dan
ingat Serena kalau kau kekurangan uang, aku punya simpanan uang yang...",

Serena memeluk suster Ana sekali lagi dengan penuh rasa sayang,

"Anda tahu suster, Bantuan suster sudah lebih dari cukup selama
ini, saya tidak tahu bagaimana lagi saya harus berterimakasih"

********

 

Pagi itu hujan deras sekali, Serena menunggu di halte bus dengan panik,
hujan deras akan menyebabkan macet parah, dan sampai sekarang bis yang dia
tunggu tak kunjung kelihatan. Sementara itu hujan turun makin deras hingga
pemandangan di depannya makin kabur ,orang orang mulai menyingkir karena halte
itu tak dapat lagi melindungi mereka dari terpaan hujan, dan Serena masih
berdiri sambil mencengkeram payungnya erat-erat, menahan tiupan angin yang
makin kencang. Matanya bergantian melirik jam tangannya dan ujung jalan dengan
harap-harap cemas, dia pasti akan terlambat hari ini,  pak Edwin, manajer
lapangannya yang galak itu pasti akan marah besar karena pagi ini dia
dijadwalkan meeting pagi dengannya, lelaki itu sangat tepat waktu dan dia tidak
suka menunggu.

Tiba-tiba sebuah mercedes hitam legam yang sangat mewah meluncur mulus
dan berhenti tepat didepan Serena. Mulanya Serena tidak menyadari kalau mobil
itu berhenti untuknya karena perhatiannya terlalu terfokus pada ujung jalan,
tetapi ketika pintu mobil itu mendadak terbuka, Serena hampir terlonjak karena
kaget,

"Masuklah",

Mulanya Serena ingin mendamprat siapapun pengemudi mobil itu yang dengan
seenaknya mengira Serena adalah wanita gampangan yang mudah dibawa, tetapi
ketika Serena merasa mengenali suara lelaki itu, dengan ragu ditundukkannya
kepalanya untuk memastikan bahwa pegemudi itu sesuai dengan dugaannya,

Mata biru  yang tajam itu membalas tatapannya, yah kalo tidak bisa
dibilang sedang sial, setidaknya dugaannya tidak salah,

"Ayo masuk, kau akan basah kuyup jika berdiri terus disitu, kita
kan searah", Damian agak berteriak mengalahkan derasnya suara hujan dan
petir yang bersahut-sahutan.

Serena masih berdiri ragu-ragu, perjalanan ke kantor kan jauh dan lama,
Serena merasa enggan dan tak tahu apa yang akan dibicarakan dengan lelaki itu
sepanjang jalan, lagipula... Serena melirik dengan cemas ke arah payungnya,
payungnya basah kuyup dan menetes-netes
 
dan interior mobil itu sepertinya sangat bagus,
jika kena air..
...

"
Masuk
Serena! Aku tak
peduli dengan payung basah itu ! Kau akan membuat kita berdua terlambat!,
masuk
, atau aku sendiri yang akan
menyeretmu...",

Suara geram Damianlah yang menyadarkan Serena dari keraguannya, dengan
cepat dia memasuki pintu yang terbuka dan duduk di sebelah Damian,

Satu detik setelah pintu tertutup, Damian langsung menginjak gas
menjalankan mobilnya, seolah takut Serena berubah pikiran.

Damian melirik sedikit pada Serena yang memandang cemas pada payung yang
meneteskan air di tangannya,

"Taruh saja di tempat dibelakang, pengurus mobilku akan
membersihkannya, dan pasang sabuk pengamanmu",

Secara otomatis Serena menoleh kebelakang dan menemukan wadah plastik
silinder ditengah jok belakang, mungkin tempat koran atau semacamnya, tapi
wadah itu kosong dan Serena meletakkan payung itu disana, lebih baik daripada
payungnya meneteskan air membasahi kursi kulit yang mewah atau karpet tebal
mobil ini,

Setelah memasang sabuk pengamannya, Serena menyadari bahwa sudut mata
Damian  melirik ke arahnya,

"Terimakasih", gumamnya demi menjaga kesopanan.

Other books

Come and Join the Dance by Joyce Johnson
Something Blue by Emily Giffin
The Adjacent by Christopher Priest
Elicit by Rachel van Dyken
Game Winner (The Penalty Kill Trilogy #3) by Lindsay Paige, Mary Smith
Finding Her Son by Perini, Robin
Wicked Promise by Kat Martin
Probation by Tom Mendicino
Southland by Nina Revoyr