A Romantic Story About Serena (26 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
4.51Mb size Format: txt, pdf, ePub

"Kalau
itu terjadi aku akan menggunakan cara kekerasan", jawab Damian dingin,
"aku akan memberikan ultimatum, Serena memilihku, atau aku akan merenggut
anak itu darinya, kalau perlu aku akan menempuh jalur hukum."

"Kejam
sekali", Vanessa bergumam spontan.

Damian
mengangguk tidak membantah,

"Ya
memang kejam sekali", jawabnya menyetujui, tanpa penyesalan dan tampak
penuh tekad menjalankan rencananya.

Dan
sekarang Vanessa duduk di ruang makan, mencoba menarik kenangannya kembali.
Dengan pelan disesapnya kopinya lagi,

Semoga
Tuhan melindungi Serena kalau Damian benar-benar membuatnya hamil malam
kemarin. Semoga Tuhan mengampuninya karena dengan kesadaran penuh dia sudah
mendukung rencana Damian.

********

 

 

 

 

BAB
15

Hampir
sebulan sejak kejadian itu, dan Damian menepati janjinya. Tidak menemui Serena
lagi. Atas bujukan dan desakan Vanessa, Serena kembali bekerja di perusahaan
Damian, lagipula bujukan Vanessa ada benarnya juga, Serena butuh gajinya untuk
menghidupi mereka semua. Dan selama sebulan itu Damian, sang CEO menjadi orang
yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak sedang melakukan perjalanan
bisnis, lelaki itu mengurung diri di ruangan kerjanya dan tidak keluar-keluar.
Sesekali Serena masih berpapasan dengan Freddy, lelaki itu masih bekerja di
sini, Damian tidak jadi memecatnya, sepertinya dia dan Damian sudah berhasil
menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.

Dan
Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad melupakan Damian, tetapi hatinya
punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang menyambung
langsung ke ruangan Damian dengan penuh harap. Berharap tanpa sengaja dia
melihat Damian keluar dari sana, melangkah ke parkiran mobilnya. Tuhan
tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat Damian, biarpun cuma
satu detik, biarpun cuma dari kejauhan. Tapi entah kenapa Damian seperti punya
pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu Serena.Sore itu Serena melangkah
memasuki apartemennya dengan lunglai, dia tidak enak badan, sedikit panas dan
meriang, jadi dia minta izin pulang cepat,

Ketika
memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah. Suara Rafi dan
dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian menggunakan setengah
hari kerjanya untuk melakukan terapi khusus pada Rafi. Terapinya sudah
membuahkan hasil, Rafi sudah bisa menggerakkan jari-jari kakinya, sedikit mengangkatnya
dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa Rafi akan bisa berjalan lagi
semakin besar.

Serena
melangkah ke ruang tamu dan melihat Rafi sedang duduk di kursi rodanya sedang
dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session terapi sudah selesai.

Rafi
mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar, mengulurkan
tangannya,

"Hai
sayang",

Dengan
senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan Rafi. Lelaki itu
membawanya ke mulutnya dan mengecupnya,

"Bagaimana
session terapi kali ini?" , tanyanya lembut.

Rafi
tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa akhir-akhir
ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat sehat,
tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih kuat.
Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan vitalitas, dengan
semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.

"Aku
tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku bercucuran,
tapi aku senang sudah sampai di tahap sejauh ini", jelas Rafi bahagia.

Serena
membelalakkan matanya senang,

"Benarkah?",
dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter ?"

Dokter
Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,

"Perkembangan
Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan lagi"

Dengan
bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,

"Oh
aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!", serunya dengan kegembiraan
murni.

Tapi
tiba-tiba Rafi melepaskan pelukannya dan menatap Serena sambil mengerutkan
alisnya,

"Sayang,
badanmu panas"

Gantian
Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,

"Benarkah?
Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat"

Dengan
cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa,

"Dokter,
badannya panas bukan?"

Vanessa
segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut,

"Benar,
kau panas Serena, apakah kau terserang flu?"

Serena
menggelengkan kepalanya,

"Tidak,
saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut saya,
akhir-akhir ini saya sering memuntahkan makanan yang saya makan, makanya badan
saya terasa lemah dan..."

"Memuntahkan
makanan?", dokter Vanessa mengernyitkan keningnya, begitu serius.

Serena
menganggukkan kepalanya, tidak menyadari betapa seriusnya pandangan dokter
Vanessa menelusuri tubuhnya.

"Sudah
berapa lama?", tanya dokter Vanessa lagi.

Serena
tampak berpikir,

"Baru
beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini"

"Apa
kau kena maag Serena?", Rafi menyela tampak semakin cemas.

"Mungkin",
Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual"

Dokter
Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,

"Kau
tampak pucat Serena, berbaringlah dulu, aku akan menyusul dan memeriksamu nanti
setelah selesai dengan Rafi",

Serena
menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,

"Aku
berbaring dulu ya", bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup
dahi Serena.

Seperginya
Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir sambil berpikir
keras...... Tidak enak badan, mual, memuntahkan makanannya.... Jika
dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil dan tidak
menyadarinya?

"Dokter?",
Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga Vanessa tergeragap,
"Dokter tidak apa-apa?"

Vanessa
berdehem salah tingkah,

"Ah,
maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena",

"Kalau
begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga mencemaskannya
dok", Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, "Tidak apa-apa dok,
aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa diriku sendiri ke kamar dan
mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah Serena dulu"

Sambil
mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.

Serena
sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan pucat pasi.

Vanessa
duduk di sebelah ranjang, menyentuh dahi Serena lagi, panas membara, meskipun
keringat dingin mengalir deras,

"Saya
muntah-muntah lagi barusan dokter", Serena memejamkan matanya dan tidak
berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka matanya, rasa mual yang hebat
akan menyerangnya lagi.

"Berbaringlah
dulu, aku akan membuatkan teh mint untukmu, untuk mengurangi mual, nanti aku
akan membuatkan resep obat untukmu", obat untuk wanita hamil. Vanessa
mulai merasa yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya mengangguk patuh masih
memejamkan matanya.

Beberapa
saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk, lalu
membantunya meneguk teh mint itu, setelah itu dia membaringkan Serena yang
lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh syukur,

"Terimakasih
dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak lagi seperti
tadi"

Vanessa
tersenyum lembut,

"Cobalah
untuk tidur", gumamnya sebelum melangkah keluar kamar

Ketika
merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk ke kamarnya,
Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor telepon Damian.

Damian
memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi lelaki itu tetap memantau
setiap detik kehidupan Serena, lelaki itu menuntut laporan yang
sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa,  Damian
berhak mengetahui dugaannya ini.

"Vanessa",
Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.

"Damian",
Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana hening, dan
tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.

"Dia
hamil", itu pernyataan bukan pertanyaan.

"Aku
tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum dilakukan test urine dan test
lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil, dia memuntahkan semua yang
dimakannya, dan mual-mual setiap saat",

"Dia
hamil", kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian,

"Aku
akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa...."

"Aku
akan segera kesana", dan Damian menutup telepon. Membiarkan Vanessa
ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.

Damian
mau kesini, lalu apa? Langsung melemparkan bom itu ke muka Rafi dan Serena?
Dasar ! Vanessa berniat menunggu Damian di depan apartemen, berusaha mencegah
Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha pelan-pelan, apalagi
kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.

Lama
sekali Vanessa menunggu di ruang tamu, hampir satu jam. Kenapa Damian lama
sekali ? Apakah Damian membatalkan niatnya kemari? Vanessa mulai
bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,

Vanessa
menoleh dan tersenyum,

"Hai
Rafi, bagaimana kondisimu?"

Rafi
balas tersenyum,

"Tidak
pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan jadi aku
keluar, bagaimana keadaan Serena?"

Vanessa
menarik napas,

"Dia
sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah"

Rafi
mengernyitkan keningnya,

"Dia
bekerja terlalu keras", gumamnya sendu, "dan itu semua gara-gara
aku"

"Rafi",
Vanessa menyela dengan lembut, "Kita sudah pernah membahas ini kan?
Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri, lagipula Serena melakukannya dengan
sukarela",

"Benarkah?",
suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya kasihan
kepadaku",

"Rafi....",
Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya berdering,
dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.

"Freddy?",
panggilnya setelah mengangkat telepon, "Freddy kau tahu di mana Damian?
Dia bilang akan ke sini, tapi sampai sekarang dia belum datang....."

"Vanessa,
Damian kecelakaan di tol"

**********

"Serena",
dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur pulas.
Sementara Rafi mengikuti di belakangnya.

Dengan
sedikit lemah Serena membuka mata dan agak waspada melihat wajah dokter Vanessa
yang pucat pasi, dengan segera dia duduk, gerakan tiba-tiba itu langsung
membuat kepalanya pening, tapi Serena menahannya sambil mengernyit,

"Ada apa
dokter? Rafi kenapa?"

"Aku
baik-baik saja di sini", gumam Rafi dalam senyum.

Serena
menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu pucat
pasi,

"Serena,
aku.... Ah aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi aku harus segera pergi,
ini darurat... Tapi aku bertanya-tanya mungkin kau mau ikut.."

"Ada apa
dokter?", Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga mengatakan
maksudnya.

"Damian,
barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah dibawa ke rumah sakit, tapi kami
belum tahu kondisinya, Freddy juga sedang dalam perjalanan menuju kesana",

"Apa?",
warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena, lalu segera digantikan dengan
kepanikan luar biasa, "Ya Tuhan, aku ikut ke rumah sakit, dokter !!"

Rafi
mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi dia hanya diam dan menatap.
Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar biasa. Kenapa sampai begitu?
Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas. Padahal
Damian kan hanya atasannya di perusahaan? Atau..... Jangan-jangan
lebih dari atasan ? Pikiran buruk itu menyeruak dalam benak Rafi, dan dia
cepat-cepat menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa Serena mulai
gemetaran karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau
pikiran buruk itu memenuhi benaknya, ada hubungan istimewa apa antara Damian
dengan Serena ?

Perjalanan
ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa bagi Serena, dia terus menerus
berdoa, seakan semua trauma masa lalu menghantamnya lagi keras-keras. Ini
hampir sama dengan kecelakaan yang membunuh kedua orangtuanya dan melukai Rafi
dulu. Dan Serena tidak akan kuat menanggungnya kalau sampai terjadi apa-apa
kepada Damian. Ya Tuhan !! Jangan sampai terjadi apa-apa pada Damian, dia belum
sempat mengatakan... Dia belum sempat mengatakan dengan jelas, bahwa dia...
Bahwa dia mencintai Damian.

Other books

Blue Autumn Cruise by Lisa Williams Kline
Dead Dreams by Emma Right
A Dangerous Game of Love by Taylor, Mercedes
Cherry Bomb by J. A. Konrath
Iron Rage by James Axler
Les Dawson's Cissie and Ada by Terry Ravenscroft