A Romantic Story About Serena (27 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
4.58Mb size Format: txt, pdf, ePub

Serena
berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa mendorong kursi
roda Rafi di belakangnya.

Dia
melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan Damian.

Lelaki
itu duduk di meja perawatan, telanjang dada, kepalanya terluka dan sudah di
tutup perban, dokter sedang membalut luka di pundak dan lengannya. Banyak
darah, tapi sudah dibersihkan. Selebihnya, Damian tidak apa-apa. Lelaki itu
masih hidup, masih untuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu menatap
Serena dengan mata birunya yang menyala-nyala.

Serena
pingsan.

********

Damian
berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan Rafi yang ada di
belakang Serena. Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.

Dengan
kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut lukanya dan
melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat datang
menghampiri, tapi Damian menyingkirkannya,

"Biar
aku saja", gumamnya serak, mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena
menyakiti luka di lengan dan bahunya, tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena
dengan posesif dan dibaringkannya ke meja perawatan,

"Tuan,
saya belum menyelesaikan membalut lukanya", gumam dokter di ruang gawat
darurat itu sedikit jengkel,

"Nanti
saja", Damian bergumam tajam dengan arogansi yang sudah seperti pembawaan
alaminya sehingga membuat dokter itu terdiam, mengangkat bahunya lalu pergi.

"Sayang",
Damian menepuk pipi Serena, tapi perempuan itu begitu pucat pasi, dengan panik,
Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi, "Dia tidak
apa-apa?"

Vanessa
mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,

"Dia
demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini, terus tepuk
pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia, sepertinya dia shock", Vanessa
menatap Damian tajam, " dan kau..kau tidak pernah kecelakaan selama
hidupmu, apa yang kau lakukan di jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah
sakit ini ?? Apakah kau mabuk ??"

Damian
mengeryit,

"Aku
tidak mabuk, aku hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang
hati-hati", saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah,
sayang…..sayang, kau baik-baik saja?”

Serena
mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada di dekatnya,
airmata mengalir di pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan menyentuh
wajah Damian, meyakinkan dirinya bahwa betul-betul Damian yang ada di depannya,

Dengan
lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya,

“Aku ada
di sini, aku baik-baik saja”, gumamnya setengah berbisik.

Serena
membiarkan tangannya dalam genggaman Damian, merasakan kulit Damian yang panas,
mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya seperti mau mati saja
ketika mengetahui bahwa Damian kecelakaan, pikiran-pikiran buruk melandanya, membuatnya
ingin menangis dan berteriak, membuatnya hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia
sudah memutuskan akan menerima tidak bisa bersama-sama dengan

Damian
lagi asalkan lelaki itu tetap hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan
bernafas di dunia ini, biarpun Serena tidak bisa melihatnya lagi. Pikiran bahwa
Damian bisa saja meninggal dan tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin
menyusul saja. Karena itulah tadi ketika melihat Damian masih hidup meskipun
terluka membuatnya lega luar biasa sehingga pingsan. Serena merasakan dadanya
sesak ketika menyadari, bahwa cinta barunya, cintanya yang tidak diduga, cinta
yang bertumbuh tanpa disadari karena kebersamaan mereka yang tidak direncanakan
itu ternyata sudah mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.

“Jangan
pernah ulangi lagi”, suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara serius
kepada Damian, “Jangan pernah ulangi lagi melakukan seperti ini kepadaku”

Damian
meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya dengan lembut,

“aku
berjanji”, jawabnya penuh perasaan, “Sekarang tidurlah sayang, aku ada di sini”

Dengan
lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas, membuat pikiran Serena melayang,
dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan raganya. Tubuhnya sakit dan
lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan. Usapan tangan Damian di
dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa, membuatnya dipenuhi rasa damai
tidak terkira sehingga Serena akhirnya terlelap lagi.

“Kemari,
lukamu harus dibalut”, Vanessa mencoba menarik perhatian Damian, lelaki itu
menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur, lalu menurut
menggerakkan tubuhnya agar Vanessa lebih mudah membalut luka di pundak dan
lengannya.

Saat
itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap semua kejadian
itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,

“Aku
mencintainya”, gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan saat itulah
dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.

Rafi
hanya terdiam, menatap Serena yang tertidur pulas dengan sedih,

“Aku tahu”,
gumamnya pelan.

Damian
mengangkat dagunya, mengernyit ketika perban itu membebat kencang lukanya,

“Dan dia
juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu”, sambungnya getir.

Rafi
menghela nafas,

“Itupun
aku juga tahu”

“Sudah
selesai”, Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian, “Berbaringlah dulu
di ranjang sebelah”, Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang di sebelah ranjang
yang dipakai Serena yang masih kosong. “Kau harus berbaring, kepalamu terbentur
dan jika kau tidak segera berbaring kau akan mengalami vertigo”, sambungnya
tegas ketika melihat Damian akan membantah.

Semula
Damian akan membantah, dia ingin melanjutkan pembicaraan dengan Rafi,
menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai menyerangnya,
pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa sakit yang
disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya merasa lemas dan
lunglai. Akhirnya Damian mengangkat bahu dan melangkah ke ranjang kosong itu,

“Kita
belum selesai bicara”, gumamnya pada Rafi, mulai menguap.

“Nanti
saja”, sela Vanessa mengernyit, lalu meraih kursi roda Rafi dan mendorongnya
keluar, “Ayo Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat”, bisiknya lembut
dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.

Vanessa
mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu duduk di sofa
di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak berkata-kata
sampai lama. Vanessa menunggu, menunggu sepatah pertanyaan dari Rafi sebelum
menjelaskan semuanya, dan akhirnya pertanyaan itu datang setelah menunggu
sekian lama,

“Apa yang
terjadi di sini ?”, gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun kebenaran itu
sudah menyeruak dalam kesadarannya, membuat dadanya sesak.

Vanessa
menghela napas mendengarnya,

“Ceritanya
panjang….”

“aku
punya banyak waktu”, sela Rafi tak sabar, “Jelaskan semuanya”

“Serena
tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau tahu”, gumam Vanessa sedih, “Dia
selalu berusaha setia kepadamu”

“Kau
bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta setengah
mati kepada lelaki lain?”, gumamnya getir.

“Kau
tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian….. biaya
operasimu… operasi ginjalmu – dokter mengultimatum kau  harus segera
dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu – sangat mahal, hampir mencapai
tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia menanggung
hutang yang sangat besar di perusahaan……… jadi… jadi Serena memutuskan menjual
keperawanan dan tubuhnya kepada Damian”


Oh Tuhan
!”

Wajah
Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini bermula
dari dirinya? Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan Serena
menyelamatkan nyawanya ? Menjual keperawanannya !! Oh Tuhan, Rafi tidak pernah
peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya adalah Serena
yang sama. Tapi…. Mengetahui bahwa Serena melakukan itu demi dirinya
benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui bahwa pada akhirnya Serena
menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat menyakiti
perasaannya.

“Dan
Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena mau mengambil manfaat
dari gadis lemah yang sedang kesulitan”, desis Rafi marah

Vanessa
menggeleng,

“Tidak
seperti itu Rafi, Damian sangat kaya, dia bisa mendapatkan gadis manapun yang
dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena, menurutku sebenarnya
sudah sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia tidak menyadarinya, karena
itu mungkin Damian menganggap satu-satunya cara untuk memiliki Serena adalah
menerima tawarannya”

Rafi
mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa sekarang
dia menjadi penghalang antara dua orang yang saling mencintai.

“Kenapa
Serena tidak membiarkan aku mati saja?”, rintihnya dalam geraman penuh
kesakitan, “Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak
menghalangi kebahagiannya…”

Vanessa
menyentuh pundak Rafi lembut,

“Jangan
pernah punya pemikiran seperti itu”, selanya tegas, “Serena mencintaimu sepenuh
hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan pernah menghancurkan
hatinya dengan kata-kata seperti itu”

“Dia
sudah tidak mencintaiku lagi, dia hanya kasihan padaku, tatapan lelaki itu,
tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan bahwa Serena lebih memilihku
dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih baik
aku tahu diri dan menyingkir saja “

“Damian
memang seperti itu, dia marah karena Serena memilih untuk bersamamu. Tapi
Damian mencintai Serena, karena itu dia menghormati keputusan Serena”

“Lelaki
itu, apakah benar dia mencintai Serena ? dia terlalu berkuasa, terlalu
mendominasi, terlalu arogan… aku takut dia hanya ingin menunjukkan
kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki Serena…”

Vanessa
menggeleng,

“Damian
yang dulu memang seperti itu, tapi ketika bersama Serena, gadis itu dengan
segala kepolosan dan kebaikan hatinya telah merubahnya. Damian benar-benar
mencintai Serena, aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu, dan dia tidak pernah
seperti itu sebelumnya, begitu mencintai seorang perempuan, begitu tergila gila
hingga hampir dikatakan bisa gila karenanya”

Rafi
menghela nafas panjang,

“Kalau
begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena ?”

Vanessa
mengangkat bahunya pedih,

“Keputusan
ada di tanganmu…….. Serena sendiri tidak akan pernah meninggalkanmu, dia
terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu. Dia rela mengorbankan
perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau tidak melepaskannya, dia juga tidak akan
pernah mengkhianatimu demi Damian”

Rafi
memegang pangkal hidungnya, mengernyit seolah kesakitan,

“Aku
sangat mencintai Serena”, gumamnya perih.

Air mata
Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di depan
Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan air
matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan diri
melepaskan sesuatu yang paling berharga di tangannya, agar sesuatu paling
berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.

“Aku tahu
dan aku bisa mengerti kesedihanmu… , kau tak perlu melepaskan Serena kalau kau
tak bisa”, bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya, membiarkan
lelaki itu terisak dengan kepedihannya,

Lama Rafi
menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan yang dalam, lalu
dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak dengan tekad kuat
di matanya.

“Aku
tidak mungkin membiarkan Serena menderita dengan bertahan bersamaku, tidak
setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian tadi, tapi
sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian”

**********

BAB
16

Serena
masih tertidur di ruang perawatan. Vanessa menungguinya. Sementara Damian yang
baru terbangun, dua jam setelah kecelakaan itu berjalan pelan, menuju ruang
tunggu, dia sudah mencuci muka dan agak segar, tapi mau tak mau nyeri di kepala
dan bahunya membuatnya mengernyit ketika berjalan.

Rafi
sedang duduk membelakanginya di kursi roda. Menatap ke luar, ke arah jendela
lebar yang ada di ruang duduk itu, hujan sedang turun deras di luar membuat
suasana ruangan itu begitu suram.

“Bagaimana
keadaan Serena?”, Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi tidak menoleh
untuk menatapnya.

“Baik,
Vanessa sudah mengatur perawatan dan obatnya, sekarang dia masih tertidur”,
Damian berdiri, bersandar di tembok dekat Rafi, ikut menatap hujan yang
mengalir deras di luar yang gelap, hanya menyisakan tetes air yang berkilauan
terkena cahaya lampu.

“Kau
pasti tahu kenapa aku ingin berbicara denganmu”

Damian
mengangguk meski tahu Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.

Other books

Spark by Jessica Coulter Smith, Smith
The Fall by Christie Meierz
The Josephine B. Trilogy by Sandra Gulland
Love at First Snow: A Christmas Miracle by Boroughs PublishingGroup
The Devil Wears Plaid by Teresa Medeiros