A Romantic Story About Serena (16 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
11.22Mb size Format: txt, pdf, ePub
ads

Sialan benar
Serena !!! Sialan benar gadis ini !!!
 Tidak tahukah dia begitu cemas tadi ketika
sampai malam Serena tidak juga pulang ?? Tak tahukah dia betapa hati Damian
dicengkeram ketakutan yang amat sangat ketika mencoba menghubungi Serena dan
menemukan bahwa ponselnya mati ???

Beribu
pikiran buruk tadi berkecamuk di dalam benak Damian,
 bagaimana kalau
Serena kecelakaan?
 
Atau dia menjadi korban kejahatan ???!!!!
Bagaimana kalau gadis itu terluka parah dan tidak dapat datang kepadanya untuk
meminta pertolongan???

Dan
sekarang, menemukan gadis itu berdiri di ruang tamu apartemennya, tanpa
kekurangan suatu apapun, membuat Damian dibanjiri perasaan lega yang amat
sangat, lega sekaligus murka, murka karena gadis itu telah membuatnya kacau
balau, murka karena gadis itu telah membuatnya berubah dari Damian yang tenang
menjadi Damian yang kacau, murka karena gadis itu telah menumbuhkan sebentuk
perasaan yang tidak dia kenal sebelumnya,

"Pro...
Proses melahirkan temanku bermasalah.... Dia... Dia eh... Harus....
Dioperasi....", Serena masih berusaha mengumpulkan nafasnya, diguncang
dengan begitu kerasnya membuat pandangannya berkunang-kunang.

Tangan
Damian yang masih berada di pundaknya mencengkeramnya kuat,

"Kalau
begitu, apa susahnya menelephonku??!!! 
Kenapa kau matikan ponselmu hah
??!!
 ",

Serena
mengerjapkan matanya gugup,

"Baterai
ponselku... Habis... "

"Memangnya
tidak ada cara lain buat menghubungiku ?! Aku hampir gila memikirkan kau ada
dimana !! 
Apa kau pikir aku tidak mencemaskanmu ??? 
Kau tahu
aku hampir melaporkan kehilanganmu ke kantor polisi !!! ",

"Damian,
sudahlah, toh dia sudah pulang dengan selamat", Freddy menyela, berusaha
lagi meredakan kemarahan Damian.

Dengan
tajam Damian menoleh kepada sahabatnya itu,

"Cukup
Freddy, kau boleh pulang, terimakasih sudah menemaniku tadi",

Freddy
hanya mengangkat bahu menghadapi pengusiran halus itu, dia menepuk-nepuk
kemejanya yang juga kusut, lalu melangkah keluar pintu,

"Kau
harus menenangkan otakmu, kalau kau seperti ini, makin lama aku makin tidak
mengenalmu ", kata-kata Freddy ditujukan kepada Damian, tapi matanya
menatap tajam ke arah Serena, menyalahkan. "Dan kau, tuan putri, lain
kali belajarlah sedikit bertanggung jawab!", sambungnya dingin sebelum
melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Ruangan
itu menjadi begitu hening sepeninggal Freddy,

Damian
diam,

Dan
Serena juga diam, menilai emosi Damian, takut salah berbicara atau bertindak
yang mungkin bisa menyulut emosi Damian semakin parah,

Setelah
mengamati dengan hati-hati, Serena menarik kesimpulan kalau kemarahan Damian
sudah mulai mereda, matanya sudah tidak menyala lagi seperti api biru, dan
napasnya sudah teratur, hanya tatapan tajam dan bibirnya yang menipis itu yang
menunjukkan masih ada sisa kemarahan di sana.

"Maafkan
aku", bisik Serena pelan, takut-takut,

Sejenak
Damian tampak akan mendampratnya lagi, tetapi lelaki itu menarik napas panjang,
berusaha menahan diri,

"Sudahlah",
gumamnya, melangkah melewati Serena memasuki kamar,

Dengan
gugup Serena berusaha mengejar langkah Damian yang begitu cepat,

"Maafkan
aku, aku tidak berpikir kamu akan secemas itu", tersengal Serena berusaha
menjajari langkah Damian menuju kamar, "Aku... aku terlalu tefokus pada
operasi temanku lalu aku……
Damian !!
", Serena setengah berseru karena lelaki itu berjalan terus tanpa memperhatikannya,

Damian
berhenti melangkah, menatap Serena, tampak begitu dingin,

"Yang
penting kau sudah pulang dengan selamat", jawabnya datar.

"Damian.....?"

Serena
merasa ragu mendengar nada dingin di dalam suara Damian.

"Sudah
! Aku mau tidur ! ", geram Damian marah sambil melangkah ke arah ranjang.

**************

Lelaki
itu marah, marah besar padanya.

Serena
bisa merasakannya dari suasana pagi itu, ketika mereka bersiap-siap berangkat
ke kantor.

Semalaman
Serena tidak bisa tidur, dan Serena yakin Damian juga tidak tidur, karena
lelaki itu bergerak dengan gelisah sepanjang malam.

Suasana
tegang di waktu sarapan pagi itu terasa seperti kawat berduri yang
direntangkan, siap putus dan melukainya.

Ia tidak
menyukai suasana seperti ini, lebih baik Damian meledak-ledak marah seperti
kemarin, setidaknya semua kemarahannya terlampiaskan, tidak seperti sekarang.

Lelaki
itu murka, tetapi menyimpannya sehingga membuat seluruh dirinya tegang dari
ujung rambut sampai ujung kaki,

"Kita
berangkat bersama", desis Damian setelah membanting serbet makannya ke
meja.

Tangan
Serena yang menyuapkan roti ke mulutnya berhenti di tengah-tengah,

"Apa
?"

"Kita
berangkat bersama-sama", ulang Damian datar.

"Tapi......
"

"Tidak
ada tapi Serena", sela Damian kasar lalu berdiri dengan marah ke pintu,
" Ayo cepat !!!"

Dengan
gusar lelaki itu membukakan pintu mobil buat Serena, dan membantingnya ketika
Serena sudah duduk di kursi, tanpa dapat membantah, tanpa dapat memberikan
perlawanan,

Sepanjang
jalan, lelaki itu menyetir dengan sangat kasar, seolah-olah melampiaskan
kemarahannya. Serena hanya duduk berdiam, tidak mau melakukan apapun yang dapat
memancing kemarahan Damian.

"Nanti
kau pulang denganku !! Kau dengar itu ?? Kau datang ke ruanganku setelah jam
kantor, kita pulang bersama !!!", gumam Damian tanpa mau dibantah ketika
menurunkan Serena di lobby kantor.

***********

Hari ini
berlalu dengan amat lambat bagi Serena, perasaannya tidak enak, sampai kapan
Damian akan marah padanya? Sampai kapan Damian akan bersikap seperti ini
kepadanya?

Dia tahu
dia bersalah, tapi dia kan sudah meminta maaf? Lagipula kenapa permasalahan
kecil semacam ini begitu dibesar-besarkan oleh Damian ?

Pemikiran
itu masih berkecamuk di kepalanya ketika keluar dari lift yang mengantarkannya
ke ruangan pribadi CEO perusahaan.

Sebenarnya
Serena tadi bermaksud pulang sendiri dan mampir ke rumah Sakit menengok Rafi,
memanfaatkan waktu bebasnya yang dijanjikan oleh Damian pada waktu perjanjian
awal mereka,

Tapi
dengan ancaman Damian tadi pagi, Serena tidak punya pilihan lain selain
menuruti permintaan Damian untuk menemuinya di ruangannya sepulang kerja.

Meja
sekertaris Damian sudah kosong, dengan pelan Serena melangkah ke pintu besar
ruangan Damian, mengetuknya pelan.

"Masuk"

Sebuah
suara mempersilahkannya dari dalam. Serena masuk dan menutup pintu di
belakangnya, ketika membalikkan badannya dia terpaku,

Bukan
Damian yang ada di sana, tetapi Freddy, lelaki itu sedang duduk santai di sofa,
menyesap segelas brendy, menatap Serena dengan penilaian santai yang sedikit
kurang ajar.

"Mr.
Damian menyuruh saya kesini jam pulang kantor", jelas Serena terbata.

Freddy
tersenyum, masih duduk santai di sofa sambil menatap brendynya yang tinggal
seperempat gelas.

"Aku
tahu, Damian menyuruhku menunggumu di sini, dia sedang menemui tamu penting
dari jerman di ruang meeting"

"Oh"

Serena
tidak tahu harus berkata apa, suasana terasa sangat canggung. Entah karena
Serena memang tidak kenal dekat dengan Freddy, atau karena sikap santai palsu
yang ditunjukkan Freddy,

"Kalau
begitu mungkin saya akan menunggu diluar saja", gumam Serena cepat-cepat,
ingin segera meninggalkan ruangan itu.

"Bagaimana
rasanya?"

Pertanyaan
tiba-tiba Freddy itu menghentikan gerakan tangan Serena membuka handle pintu.

"Apa?"

"Bagaimana
rasanya menjadi wanita simpanan taipan kaya seperti Damian?", Freddy
bangkit berdiri dari sofa dan menghampiri Serena,

Serena
tidak suka mendengar nada melecehkan dalam suara Freddy, dia ingin segera
keluar dari ruangan ini,

"Eh,
mungkin saya harus menunggu di luar", Serena berhasil membuka pintu
sedikit, tapi dengan lengannya Freddy mendorong pintu itu tertutup lagi.

"Aku
bertanya padamu tuan putri", ulang Freddy sinis.

Serena
menatap Freddy tajam,

"Saya
tidak akan membiarkan anda merendahkan saya", desisnya pelan.

Ucapan
itu membuat Freddy tertawa, penuh penghinaan.

"Merendahkan
katamu ?, bukannya kau yang datang merangkak meminta dijadikan pelacur oleh
Damian ???", ejeknya kasar, lalu mencekal lengan Serena tak kalah kasar,
tak peduli Serena mulai meronta-ronta,

"Kau
adalah wanita paling rendah, paling murahan yang pernah kukenal, kau mungkin
berhasil merayu Damian dengan tubuhmu", Freddy menyeringai sinis,
"Tak kusangka Damian bisa bertekuk lutut pada perempuan sepertimu, tapi
kau tentu sudah tahu kan? Damian terbiasa dikelilingi perempuan-perempuan
dewasa yang berpengalaman, jadi citra polos dan kekanak-kanakanmu tentu saja
menjadi hal baru yang menyegarkan untuknya"

"Anda
salah ! Saya tidak begitu", Serena berusaha menyela, berusaha melepaskan
diri dari cekalan tangan Freddy, tapi genggaman lelaki itu seperti capit besi,
dan dari napasnya yang berbau brendy, sepertinya lelaki itu setengah mabuk.

"Kau
tidak bisa membohongiku pelacur cilik !! ", Freddy menggeram pelan,
"Meski dulu aku terpaksa membuatkan kontrak tiga ratus juta yang konyol
itu, jangan kira aku akan membiarkanmu menyetir Damian untuk membuat kekonyolan
lain yang merugikannya !!!"

"Anda
salah paham !!", Serena setengah berteriak, semakin meronta dari
cengkeraman Freddy yang sangat keras,

"Kau
pelacur cilik yang menjual tubuhmu seharga tiga ratus juta", Freddy mulai
merapat ke tubuh Serena, " Aku mulai bertanya-tanya, apakah hargamu
sepadan dengan pelayananmu ???"

"Tidaaak
!!! Lepaskan saya !!! ", Serena mulai berteriak membabi buta, berusaha
melepaskan diri dari Freddy yang semakin gelap mata.

Lelaki
itu mencengkeramnya kuat, mendorongnya ke tembok dan berusaha menciumnya dengan
kasar

Serena
meronta membabi buta, berusaha menghindari ciuman itu sekuat tenaga,
memalingkan kepalanya seperti orang gila, dia tak mau disentuh Freddy, dia
tidak mau !!!!

Damian
!!! Damian !!! Tolong aku !!!!

BAB
9

Vanessa
sedang duduk di ruang tamu rumahnya, merenung.

Ada yang
mengganjal di pikirannya, terus mengganggu. Sesuatu yang diketahuinya sejak
dulu tapi di lupakannya.

Sesuatu
tentang Serena, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang gadis itu,
tapi apa ?

Apa itu
Vanesa ? Bukankah kau merasa sudah pernah mengenal gadis itu sebelumnya?
Sebelum gadis itu bekerja di perusahaan ini ? Bukankah gadis itu terasa begitu
familiar ?

Dengan
gelisah Vanessa berdiri, melangkah ke depan lemari putih yang terpajang rapi di
ruang tamunya....

Sebenarnya
dia punya firasat Serena berhubungan dengan masa lalunya, masa lalu yang ingin
dilupakannya, karena terlalu pedih untuk diingatnya.

Kenangan
tentang almarhum suaminya, Alfian.....

Dengan
gemetar Vanesa membuka laci lemari putih itu, lalu mengeluarkan sebuah kotak
putih yang tidak pernah disentuhnya sejak dua tahun lalu.

Hati-hati
dibukanya kotak itu dan dikeluarkannya isinya, sebuah map tebal berisi berkas-berkas.

Vanessa
duduk, menarik napas panjang dan membuka map itu, isinya adalah kliping,
potongan berita-berita tentang tragedi dua tahun lalu.

Tragedi
kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan Alfian suaminya.

Saat itu,
dalam kesedihannya, Vanessa mengumpulkan semua berita yang memuat tentang
tragedi itu, menjadikaanya satu di dalam satu map besar, memasukkannya ke
kotak, dan menyimpannya, menyimpannya bersama segenap kepedihan yang dia
rasakan.

Sekarang
dia membuka lagi kotak kepedihan itu, hatinya terasa nyeri, tangannya gemetar
ketika membuka halaman demi halaman. Potongan artikel itu.

Sampai
kemudian dia menemukan apa yang dia cari.

Gambar
sosok itu persis sama, meski terlihat muda, rapuh dan remuk redam, itu Serena
yang sama, di gambar artikel itu, dia sedang menunduk mengenakan pakaian serba
hitam di ruang tunggu sebuah rumah sakit,

SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN
BERUNTUN

Begitu
judul artikel itu,

Disitu
dijelaskan bagaimana Serena kehilangan kedua orang tuanya dan ditinggalkan sebatang
kara sendirian. Sedangkan tunangannya, seorang pengacara bernama Rafi
Ardyansyah terbaring koma tak sadarkan diri.

Tunangan
??? Koma ???

Vanesa
membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati
background
rumah sakit pada gambar artikel Serena itu,

BOOK: A Romantic Story About Serena
11.22Mb size Format: txt, pdf, ePub
ads

Other books

Manhunt by Lillie Spencer
Hide Her Name by Nadine Dorries
Denial by Jackie Kennedy
Sleeping Beauties by Miles, Tamela
GrandSlam by Lily Harlem and Lucy Felthouse
Dark Days (Apocalypse Z) by Manel Loureiro
A Century of Progress by Fred Saberhagen
Broken for You by Stephanie Kallos