A Romantic Story About Serena (15 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
13.62Mb size Format: txt, pdf, ePub

“Begitu
liar di ranjang, tapi masih bisa memerah pipinya ketika kugoda”, dengan lembut
Damian meniupkan napas panas di telinga Serena, membuat tubuh Serena
menggelenyar, “Apakah aku juga bisa membuat yang di bawah sana merona ketika
kugoda?”

Tangan
Damian menyentuh Serena dengan lembut, membuat napas Serena terengah, jemari
yang kuat itu menelusup ke dalam, menyentuh Serena dan menggodanya, membuatnya
basah.

Damian
mendorong Serena ke atas meja dapur membuka pahanya, lalu dengan cepat membuka
celananya dan menyatukan dirinya dengan Serena. Kerinduannya begitu dalam
sehingga kenikmatan yang terasa begitu menyengat seakan-akan jiwanya dipukul
dengan tabuhan percikan orgasme tanpa ampun.

Entah
hati mereka saling berseberangan, tetapi ternyata tubuh mereka saling
membutuhkan. Serena setengah terbaring di atas meja dapur dengan tubuh Damian
melingkupinya, Lelaki itu membutuhkannya dan Serena dengan caranya sendiri
membutuhkan Damian. Ketika paha mungil Serena melingkupi pinggang Damian, Damian
menekankan dirinya kuat kuat, menggoda batas pertahanan Serena.

“Damian…”,
Serena merintih, tanpa sadar mengucapkan nama Damian, dan ucapan itu bagaikan
musik hangat di telinga Damian,

“Ya
manis, katakan manis, kau ingin aku berbuat apa?”, bisik Damian parau disela
tubuhnya yang bergolak untuk memuaskan Serena, di sela napasnya yang tersengal
yang terpacu cepat. “Kau ingin aku memuaskanmu ya? Aku akan memuaskanmu manis,
aku akan memuaskanmu sampai kau tidak akan pernah bisa menemukan kepuasan yang sama
dari siapapun”, Dengan posesif Damian menekan Serena menyatakan kepemilikannya,

“Kau
tidak akan pernah menemukan lelaki lain…..”, suara Damian tercekat ketika
hantaman orgasme melandanya, membawa Serena ikut dalam pusaran puncak
kenikmatannya.

Dan akhirnya,
mereka baru menyantap makan malam  hampir  lewat tengah
malam.

 

*****

 

BAB
8

Ruangan
itu sangat sunyi, hanya suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi
secara teratur,

Serena
duduk disana, disamping ranjang Rafi, menatap Rafi yang terbaring dengan damai.
Dua jam lagi operasi ginjal Rafi akan dilaksanakan,

Kau harus
kuat bertahan ya ? demi aku kau harus bertahan, kau harus bertahan, demi aku
Rafi….

Berkali-kali
Serena merapalkan kata-kata itu seperti sebuah doa yang tidak ada
putus-putusnya,

Rafi
tampak lebih kurus, dan pucat, dan begitu diam, tetapi Serena meyakini masih
ada kekuatan hidup yang tersembunyi di dalam tubuh Rafi, Serena mempercayainya,
Serena percaya kepada Rafi, seluruh harapannya masih bertumpu  kepada
kepercayaannya itu.

Kemungkinan
keberhasilan operasi itu adalah 40:60, dan Serena bergantung kepada 40% itu.
Dia percaya Rafi adalah lelaki yang kuat, buktinya dia sudah berhasil bertahan
sampai sejauh ini.

Suster
Ana masuk ke dalam ruangan, dan menyentuh pundak Serena,

“Kondisinya
stabil Serena, aku yakin dia akan berhasil melalui ini semua”

“Iya
suster, Rafi pasti kuat “

Suster
Ana mengecek denyut nadi Rafi lalu menatap Serena seolah teringat lagi,

“Bagaimana
kau berpamitan bagaimana kepada Mr. Damian ? “

Serena
merona,

“Aku
bilang  menemani teman yang akan melahirkan “, gumamnya pelan, merasa
berdosa karena tidak biasa berbohong,

Hari ini
hari minggu, Damian kebetulan berencana melewatkan waktunya seharian dengan
Serena. Tetapi dengan alasan palsu dan kebohongan yang terbata-bata,
Serena  berhasil membuat Damian melepaskannya.

Meskipun
dahi Damian tampak berkerut curiga ketika Serena berpamitan tadi pagi.

“Kalau
begitu kenapa kau tak mau kuantar ? “ kejar Damian tadi pagi ketika Serena
menolak tawarannya.

“Karena
temanku ini mengenalmu sebagai bosku, nanti dia bisa mengetahui semuanya”,
jawab Serena cepat-cepat.

Lelaki
itu mengerutkan keningnya lagi, tidak puas,

“Apakah
dia salah satu pegawaiku ?”

“Bukan !
“ , Serena langsung menyela keras, karena setelah mengenal Damian lebih dekat,
Serena tahu, jika dia menjawab ‘iya’, maka Damian pasti akan menyuruh salah
satu staff personalianya untuk mengecek apakah benar ada karyawannya yang akan
melahirkan, dan dia akan mendapati kalau Serena berbohong.

“Dia
bukan pegawaimu, tapi dia banyak mengenal teman-teman kantor , dan dia tahu
tentangmu, jadi kalau dia melihatmu dia bisa bertanya-tanya kepada yang lain….

“Oke,
kalau begitu di Rumah Sakit mana ?”

Serena
kehilangan kata-kata, berusaha mencari jawaban,

“Eh…..
aku tidak tahu di Rumah Sakit mana “

Dengan
cepat Damian melangkah ke hadapan Serena yang berusaha menghindari tatapannya,

“Kau
bilang akan menemani temanmu itu di Rumah sakit, bagaimana mungkin kau tidak
tahu di mana rumah sakitnya ???? “

“A….
aku…..”, dengan gugup Serena menelan ludah, “ Aku akan menunggu di kost yang
lama, suaminya akan menjemputku nanti “ , disyukurinya  jawaban yang
terlintas cepat di otaknya , Dia jarang berbohong, dan tidak pandai berbohong,
sementara Damian terlihat seperti seorang detektif yang mencurigai tindakan
kriminal yang dilakukan di belakangnya.

“Suaminya
? “

Jawaban
itu sepertinya membuat Damian tidak senang karena ekspresi wajahnya semakin
menggelap, “ Kau membiarkan suaminya menjemputmu ? kalian hanya berdua di jalan
? “

Serena
merasa gugup, tapi kemudian dia merasa ingin tertawa mendengar perkataan Damian
yang terasa aneh,

“Damian“,
gumam Serena jengkel, “ Dia seorang suami, dan isterinya akan melahirkan
anaknya, apa yang ada di dalam pikiranmu ? “

Perkataan
itu membuat pipi Damian merona, dan dia melangkah mundur,

“Ah ya…..
maaf “, lalu lelaki itu menatap Serena tajam, “ Kau boleh pergi, tapi begitu
sampai di rumah sakit  itu kau harus menghubungiku”

“Ya”,
jawaban Serena terlalu cepat  sehingga Damian menatapnya makin curiga.

“Kau
harus menghubungiku, Oke ? “

“Oke”,
jawab Serena terlalu cepat.

“Serena..”,
suara Damian terdengar jengkel.

“Oke, aku
janji”, jawab Serena akhirnya.

“Dan
sebelum jam delapan malam kau harus pulang”

“Baik
Damian”, Serena berjanji meski tidak tahu apakah dia bisa menepatinya,

Dan
sekarang, dengan sengaja Serena mematikan ponselnya. Bagaimanapun kemarahan
Damian nanti akan ditanggungnya, sekarang yang paling penting adalah Rafi.

"Sudah
waktunya", gumam suster Ana, membuyarkan lamunan Serena.

Dua
perawat lain masuk ke ruangan dan mulai mempersiapkan mesin-mesin penunjang
kehidupan untuk Rafi. Lalu mulai mendorong tubuh Rafi keluar ruangan.

Serena
mengikuti di belakang, sampai Rafi menghilang di pintu khusus ruang operasi.

Dengan
lemah dia menoleh ke suster Ana,

"Berapa
lama suster operasinya?",

Suster
Ana memeluk Serena lembut,

"Untuk
operasi berat seperti ini, minimal 4jam Serena"

.........

4 jam

5 jam

6 jam

......

Napas
Serena mulai terasa sesak, berkali kali dia melirik lampu di atas pintu ruang
operasi. Tetapi tetap tidak ada gerakan di sana. Di setiap detik yang
terlewatkan dengan begitu lambat, napas Serena terasa makin lama makin sesak.

Kenapa
lama sekali ?? Apa yang terjadi? Apakah para dokter mengalami kesulitan ?
Bagaimana kondisi Rafi disana?

Pertanyaan-pertanyaan
itu berkecamuk di dalam benak Serena, membuatnya makin cemas dan ketakutan.

Suster
Ana sudah berkali-kali menengok keadaan Serena di sela-sela tugas jaganya,
membawakan Serena segelas teh dan makanan kecil karena Serena tidak mau makan.

"Makanlah
dulu Serena. Aku tidak mau kau pingsan nantinya", gumam suster Ana sambil
memijit lembut pundak Serena.

Dengan
lemah Serena menggeleng,

"Tidak
bisa suster, aku terlalu cemas untuk makan",

"Kalau
begitu minumlah tehmu, kau sama sekali belum makan sejak tadi, setidaknya teh manis
bisa memberikanmu sedikit tenaga"

Dengan
patuh Serena meneguk teh manisnya, lalu menatap ke pintu lagi dengan cemas,

"Kenapa
lama sekali suster operasinya?"

Suster
Ana menghela napas,

"Aku
tidak tahu Serena, tapi Rafi kan kasus khusus, para dokter harus benar-benar
berhati-hati menanganinya, mungkin itu yang memerlukan waktu lebih lama"

Pandangan
Serena tetap tidak terlepas dari pintu ruang operasi

Ketegangannya
semakin meningkat, ketika lampu di atas pintu ruang operasi menyala, tanpa
sadar dia terlompat dari tempatnya berdiri dan setengah berlari menyongsong
dokter,

Dokter
itu tersenyum sebelum Serena bertanya, dia mengenal Serena, mengenal kegigihan
gadis itu memperjuangkan kehidupan tunangannya. Dan tanpa sadar turut merasakan
empati pada pasangan itu.

"Tidak
apa-apa Serena, Rafi lelaki yang kuat, operasinya berhasil"

Tubuh
Serena langsung lunglai penuh rasa syukur  hingga sang dokter harus
menopangnya,

"Selamat
Serena, kamu berhasil... Kalian berdua berhasil "

**********

"Pulanglah
dulu Serena, ini sudah hampir jam tiga pagi", suster Ana yang masih setia
menemani mengguncang pundak Serena.

Dia
kasihan melihat gadis itu tertidur kelelahan di samping ranjang Rafi, begitu
Rafi keluar dari ruang pemulihan dan kembali ke kamar perawatan intensif,
Serena tak pernah beranjak dari sisi Rafi, tidak makan, tidak minum. Hanya
duduk disana mengenggam tangan Rafi yang tidak terbalut infus, seolah olah akan
ada keajaiban dimana Rafi akhirnya sadarkan diri.

Kasihan
sekali kau nak,

Suster
Ana menggumamkan rasa tersentuhnya dalam hati

Serena
berusaha mengumpulkan kesadarannya, tanpa terasa tadi dia tertidur karena
kelelahan.

"Kamu
harus pulang Serena, ingat, mungkin Damian kebingungan mencarimu"

Astaga !!
Astaga !! Astaga !! Ya Tuhan, Serena benar-benar lupa, Damian !!! Astaga,
lelaki itu pasti akan mencarinya dan sekarang dia pasti sedang  marah
besar !!!

Dengan
gugup Serena bangkit dari kursinya, sedikit gemetar membayangkan kemarahan
Damian nantinya,

"Aku
meminta supir rumah sakit mengantarmu pulang, jadi kamu tidak perlu naik taxi
dini hari begini", suster Ana berusaha meredakan kegugupan Serena.

Dengan
cepat Serena mengecup tangan Rafi yang masih ada dalam genggamannya, memeluk
suster Ana dan setengah berlari keluar.

*************

Ruangan
itu gelap.

Gelap dan
sunyi, hingga bunyi klik ketika Serena menutup pintu terdengar begitu keras.

Dengan
gugup Serena menelan ludah, 

kenapa
sepi ? Kemana Damian?

Apa
Damian mungkin pulang ke rumahnya? Apa mungkin dia tidak tahu kalau Serena
belum pulang ? Syukurlah kalau begitu kejadiannya.

Serena
berusaha menenangkan dirinya, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa
gugupnya menghadapi apa yang akan terjadi, seperti hitungan mundur penantian
sebuah bom yang akan meledak saja,

Dan bom
itu memang meledak,

Dalam
hitungan beberapa menit pintu depan terbuka, tidak, 
bukan terbuka
,
tapi 
terdorong 
dengan kasarnya, lampu-lampu menyala,

Damian
tampak begitu menakutkan, matanya menyala-nyala, rambutnya acak-acakan, bahkan
pakaiannya yang biasanya selalu elegan dan rapi tampak kusut massai,

Yang
pasti, lelaki itu kelihatan begitu murka mendapati Serena berdiri di ruang tamu
apartemen itu, hanya menatapnya.

Dengan
gerakan kasar dia meraih pundak Serena dan mengguncangnya begitu keras sampai
Serena merasa pusing,

"Kemana
saja 
KAU
 ?????!!! ", teriak Damian, lepas kendali.

Serena
berusaha menjawab, tetapi kepalanya terasa pusing karena Damian masih
mengguncangnya,

"Aku
mencarimu ke segala penjuru,
 kau tahu
 ????!!! ", masih
berteriak, " semua rumah sakit bersalin di kota ini kudatangi satu persatu,
tapi tidak ada kamu !!!! Kemana saja 
KAU
 ???? "

"Damian,
kalau kau terus mengguncangnya seperti itu, dia akan muntah sebentar
lagi", sebuah suara tenang terdengar di belakang Damian, membuat lelaki
itu terpaku, seolah-olah baru menyadari kehadiran sosok di belakangnya,

Freddy
berdiri dengan santai sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu,
sepertinya menikmati pemandangan Serena yang didamprat oleh Damian,

Damian
menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha mengontrol emosinya,

Other books

The Mystery of the Zorse's Mask by Linda Joy Singleton
Legwork by Munger, Katy
Shelby by McCormack, Pete;
The City of Ember by Jeanne DuPrau
Pantano de sangre by Douglas Preston & Lincoln Child
You're the One I Want by Shane Allison
See Delphi And Die by Lindsey Davis
El miedo a la libertad by Erich Fromm
Cooking up a Storm by Emma Holly